Menemukan Kebenaran atau Menciptakan Realitas? Perdebatan Epistemologis dalam Studi Komunikasi
Penulis: Admin Apcoms | Terbit: 18 Mar 2025
Insight ini telah dibaca 36 kali
Apa Itu Teori dan Apa Yang Dilakukannya
Dalam menjelaskan konsep teori, Griffin tidak hanya memberikan definisi verbal, tetapi juga menggambarkannya melalui tiga metafora yang dapat membantu memahami apa itu teori dan bagaimana teori bekerja secara lebih konkret.
1) Teori sebagai Jaring
Filosof sains Karl Popper mengibaratkan teori sebagai jaring yang digunakan untuk menangkap realitas atau dunia. Seperti seorang nelayan yang terus menyempurnakan jaringnya agar dapat menangkap ikan yang lebih sulit ditangkap, para akademisi juga berupaya mengembangkan teori yang semakin baik dalam memahami komunikasi. Namun, berbeda dengan menangkap ikan di laut, studi komunikasi melibatkan manusia dengan pemikiran, ucapan, dan tindakan yang kompleks, sehingga tidak ada teori yang mampu menjaring seluruh aspek kehidupan manusia secara sempurna.
2) Teori sebagai Lensa
Dalam metafora ini, teori dipandang sebagai lensa kamera atau kacamata yang membentuk cara seseorang memahami dunia. Teori memusatkan perhatian pada aspek-aspek tertentu dalam komunikasi, sementara aspek lain mungkin diabaikan atau hanya menjadi latar belakang. Akibatnya, dua peneliti yang mengkaji fenomena komunikasi yang sama dapat memiliki sudut pandang yang berbeda, bergantung pada teori yang mereka gunakan. Namun, penggunaan metafora ini juga memiliki risiko, yaitu menganggap realitas yang dilihat melalui lensa teori sepenuhnya bergantung pada sudut pandang subjektif, sehingga berpotensi mengabaikan usaha untuk membedakan apa yang nyata dan benar.
3) Teori sebagai Peta
Metafora ini menggambarkan teori sebagai peta yang membantu seseorang memahami dan menavigasi wilayah yang belum dikenal. Seperti peta jalan yang menunjukkan rute dari satu titik ke titik lainnya atau peta politik yang menggambarkan batas antarnegara, teori komunikasi berfungsi sebagai panduan untuk memahami kompleksitas hubungan manusia. Materi tentang teori dapat diibaratkan sebagai atlas yang mengumpulkan berbagai perspektif untuk dipelajari. Namun, seperti halnya peta yang tidak sepenuhnya merepresentasikan wilayah aslinya, teori juga tidak bisa sepenuhnya menangkap seluruh kompleksitas interaksi manusia yang selalu berubah dan berkembang. Justru, kompleksitas inilah yang membuat studi komunikasi semakin menarik dan bernilai.
Objektif dan Interpretif
Glenn dan Marty, dua mahasiswa Griffin, memiliki cara pandang yang berbeda dalam mempelajari komunikasi. Glenn mengidentifikasi dirinya sebagai seorang ilmuwan perilaku, yang mengutamakan penelitian empiris dan eksperimen dalam memahami fenomena komunikasi. Sementara itu, Marty lebih condong ke pendekatan retoris, yang berfokus pada analisis teks dan kritik retorika. Perbedaan ini mencerminkan dua perspektif utama dalam kajian komunikasi, yakni pendekatan objektif dan interpretatif.
Sebagai ilustrasi, Griffin meminta Glenn dan Marty untuk menganalisis sebuah iklan televisi yang pertama kali ditayangkan saat Super Bowl XLVII. Iklan berdurasi 60 detik tersebut mengisahkan perjalanan seekor anak kuda Clydesdale yang tumbuh besar dan akhirnya bergabung dalam tim kerja, meninggalkan pelatihnya yang selama ini merawatnya. Beberapa tahun kemudian, pelatih tersebut bertemu kembali dengan kudanya dalam sebuah parade, yang berujung pada momen emosional ketika kuda itu berlari ke arahnya setelah mengenalinya.
Dari sudut pandang objektif, Glenn mengkaji efektivitas iklan ini dalam membangkitkan respons emosional dan pengaruhnya terhadap perilaku konsumen. Sebuah studi pasca-Super Bowl 2013 menunjukkan bahwa iklan ini mendapat respons emosional yang sangat positif dari penonton, bahkan setara dengan momen saat tim favorit mereka mencetak touchdown. Pendekatan objektif dalam analisis ini menggunakan teori Resonansi Komunikasi yang dikembangkan oleh Tony Schwartz. Teori ini menyatakan bahwa pesan yang efektif adalah yang mampu membangkitkan pengalaman masa lalu seseorang, sehingga menciptakan keterhubungan emosional antara penonton dan pesan yang disampaikan. Dalam konteks iklan Clydesdale, kisah hubungan antara pelatih dan kuda dapat membangkitkan kenangan pribadi penonton terhadap hewan peliharaan atau pengalaman emosional serupa. Hal ini berpotensi memengaruhi persepsi mereka terhadap merek yang diiklankan, baik dalam bentuk peningkatan pembelian maupun citra positif terhadap perusahaan.
Pendekatan objektif berdasarkan asumsi bahwa kebenaran bersifat tunggal dan dapat diakses melalui pengamatan sensori yang tidak bias; berkomitmen untuk mengungkapkan hubungan sebab-akibat.
Sementara itu, Marty menggunakan pendekatan interpretatif untuk memahami pesan yang lebih mendalam dalam iklan tersebut.
Pendekatan interpretatif adalah pendekatan atau metode penelitian yang bertujuan untuk memahami makna sosial dan pengalaman subjektif yang dialami oleh individu atau kelompok dalam suatu situasi atau konteks tertentu. Pendekatan ini melihat manusia sebagai makhluk sosial yang aktif dan kreatif dalam menciptakan makna dari realitas sosial yang mereka hadapi. Dalam pendekatan interpretatif, peneliti berusaha untuk memahami pemahaman dan interpretasi individu atau kelompok tentang realitas sosial dengan cara memahami cara mereka melihat dan menafsirkan dunia. Pendekatan ini mengakui bahwa individu memiliki pengalaman dan perspektif yang berbeda, serta mengakui bahwa makna sosial tidak selalu jelas atau universal.
Ia menafsirkan bahwa iklan ini tidak hanya sekadar kisah hubungan manusia dan hewan, tetapi juga mengandung pola mitos archetypal tentang kelahiran, kematian, dan kebangkitan. Pola ini dianggap universal karena berakar dalam kesadaran kolektif manusia. Kisah pertumbuhan kuda, perpisahannya dengan pelatih, serta pertemuan kembali setelah tiga tahun, merepresentasikan siklus kehidupan yang mencerminkan pengalaman manusia dalam menghadapi perubahan, kehilangan, dan pemulihan. Selain itu, unsur waktu dalam iklan—tiga tahun—dapat dikaitkan dengan simbolisme religius, seperti kisah kebangkitan dalam tradisi Kristen. Musik yang mengiringi iklan juga memperkuat elemen emosional, dengan menyampaikan tema cinta, kehilangan, dan harapan. Secara simbolis, iklan ini ingin menunjukkan bahwa meskipun hidup penuh dengan perubahan dan kehilangan, produk yang diiklankan tetap hadir sebagai sesuatu yang dapat diandalkan dan memberikan kenyamanan.
Mitos archetypal adalah cerita atau narasi yang mengandung simbol dan pola dasar yang muncul secara universal di banyak budaya dan masa yang berbeda. Mitos ini menggambarkan konsep-konsep dasar dan universal tentang manusia, seperti kehidupan, kematian, cinta, keberanian, pengorbanan, atau pencarian makna hidup. Mitos archetypal juga terkait dengan konsep arketipe, yaitu pola pikir atau prilaku yang secara alamiah muncul dalam pikiran dan tindakan manusia, terlepas dari latar belakang budaya atau sejarahnya. Mitos archetypal sering kali digunakan dalam sastra, seni, dan psikologi sebagai cara untuk menggambarkan dan memahami pengalaman manusia yang universal.
Dengan demikian, analisis Glenn dan Marty menunjukkan dua cara berbeda dalam memahami komunikasi. Glenn, dengan pendekatan objektifnya, menekankan pengujian empiris untuk mengukur efektivitas komunikasi, sementara Marty, dengan pendekatan interpretatifnya, mengeksplorasi makna mendalam yang terkandung dalam sebuah pesan. Perbedaan perspektif ini mencerminkan bagaimana studi komunikasi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, tergantung pada tujuan dan metode yang digunakan.
Cara Mengetahui: Menemukan Kebenaran Atau Mencipatakan Berbagai Realitas
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang asal-usul dan keandalan pengetahuan. Secara sadar atau tidak, setiap individu memiliki asumsi tentang hakikat pengetahuan, meskipun tidak selalu secara eksplisit membahas konsep kebenaran. Dalam pendekatan ilmiah, kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang objektif, bersifat tunggal, dan berada di luar diri manusia. Para ilmuwan meyakini bahwa realitas dapat ditemukan melalui observasi inderawi dan metode penelitian yang objektif. Meskipun tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui segala sesuatu, ilmu pengetahuan berkembang melalui akumulasi dan kolaborasi hasil penelitian yang membentuk pemahaman kolektif tentang dunia.
Dalam pandangan ilmiah, teori yang baik adalah teori yang mampu merepresentasikan realitas secara akurat. Teori dianggap sebagai alat yang menangkap aspek-aspek dari kenyataan. Para ilmuwan yang berpegang pada objektivitas meyakini bahwa prinsip-prinsip yang telah diuji dan dibuktikan akan tetap berlaku selama kondisi tidak berubah. Sebagai contoh, Glenn menggunakan teori resonansi untuk menjelaskan efektivitas suatu pesan media dalam mempengaruhi audiens.
Di sisi lain, para sarjana interpretatif memiliki pandangan bahwa kebenaran tidak bersifat absolut, melainkan terbentuk melalui interaksi sosial dan komunikasi. Bahasa dianggap menciptakan realitas sosial yang selalu berubah, sehingga makna suatu konsep atau fenomena bergantung pada perspektif tertentu dan tidak selalu berlaku secara universal. Interpretasi sebuah teks, misalnya, tidak bisa dilakukan secara otomatis karena maknanya dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang pembaca.
Beberapa akademisi meyakini bahwa kebenaran bersifat subjektif dan dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Namun, kritikus retorika seperti Marty berpendapat bahwa meskipun makna dapat bervariasi, bukan berarti dapat ditetapkan secara sewenang-wenang. Mereka beranggapan bahwa objektivitas sepenuhnya hanyalah sebuah mitos, karena pengetahuan selalu terikat dengan cara manusia memahami dan menafsirkannya. Oleh karena itu, teks dapat memiliki makna ganda, bergantung pada pemikiran dan perspektif yang digunakan dalam proses interpretasi. Kritikus retorika berhasil ketika mereka mampu mengajak orang lain untuk melihat suatu teks melalui sudut pandang mereka dan membentuk pemahaman baru tentang dunia. Sebagai contoh, Marty berusaha meyakinkan bahwa iklan Budweiser menggunakan pola lahir-mati-ulang yang secara psikologis tertanam dalam diri manusia. Seperti yang dikatakan Anderson, “Kebenaran adalah sebuah perjuangan, bukan status.”
Sifat Manusia: Determinisme Atau Kehendak Bebas
Sepanjang sejarah, perdebatan filosofis mengenai pilihan manusia terus menjadi topik utama. Kaum determinis garis keras meyakini bahwa setiap tindakan manusia merupakan konsekuensi dari faktor biologis dan lingkungan, sehingga tidak ada yang benar-benar bersifat bebas. Sebaliknya, penganut konsep kebebasan berpendapat bahwa setiap individu memiliki kendali penuh atas tindakannya dan mampu membuat pilihan secara sukarela.
Sepanjang sejarah, perdebatan filosofis mengenai pilihan manusia terus menjadi topik utama. Kaum determinis garis keras meyakini bahwa setiap tindakan manusia merupakan konsekuensi dari faktor biologis dan lingkungan, sehingga tidak ada yang benar-benar bersifat bebas. Sebaliknya, penganut konsep kebebasan berpendapat bahwa setiap individu memiliki kendali penuh atas tindakannya dan mampu membuat pilihan secara sukarela.
Determinisme adalah asumsi bahwa perilaku disebabkan oleh pewarisan dan lingkungan.
Cara seseorang menjelaskan tindakannya dapat mencerminkan pandangannya tentang sifat manusia. Individu yang merasa dirinya tidak memiliki kendali cenderung menggunakan bahasa pasif, seperti “Saya harus…”, sementara mereka yang merasa memiliki kendali atas kehidupannya lebih sering menggunakan ungkapan aktif, seperti “Saya memutuskan untuk…”. Dalam dunia akademik, ilmuwan perilaku yang berpandangan objektif menekankan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh faktor eksternal yang tidak selalu disadari, sementara sarjana interpretatif lebih berfokus pada peran kesadaran dan niat individu dalam menentukan tindakan.
Pilihan kata yang digunakan dalam menjelaskan tindakan manusia juga mencerminkan pandangan filosofis seseorang. Ilmuwan perilaku lebih cenderung menggunakan istilah seperti “respons terhadap stimulus sebelumnya,” yang meniadakan peran kesadaran dalam keputusan seseorang. Sebaliknya, sarjana interpretatif lebih sering menggunakan kata-kata seperti “agar” dan “sehingga,” karena mereka percaya bahwa manusia bertindak berdasarkan tujuan dan niat yang disadari.
Dalam pengambilan keputusan, sering kali tidak ada satu alasan pasti yang menjadi dasar pilihan seseorang. Sarjana interpretatif beranggapan bahwa keputusan yang dibuat seseorang bersifat sukarela dan dapat dijelaskan oleh kehendak individu itu sendiri. Dengan kata lain, tindakan manusia tidak selalu memiliki sebab eksternal, melainkan muncul dari kesadaran dan motivasi pribadi.
Konsep pilihan manusia menjadi tantangan bagi ilmu perilaku karena semakin besar kebebasan individu, semakin sulit untuk memprediksi perilakunya. Di sisi lain, dalam perspektif humanisme, pandangan yang membatasi kebebasan manusia dapat mengancam konsep dasar tentang otonomi individu. Dalam hal ini, penulis Inggris C.S. Lewis menyoroti paradoks yang terjadi ketika kebebasan seseorang dikekang, tetapi mereka tetap diharapkan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab. Lewis beranggapan bahwa keputusan penting selalu mengandung nilai, suatu pandangan yang selaras dengan perspektif sarjana interpretatif.
Nilai Tertinggi: Objektivitas Atau Pembebasan
Nilai dalam kehidupan berfungsi sebagai panduan yang memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertindak. Dalam studi komunikasi, perbedaan perspektif mengenai nilai terlihat dalam pendekatan objektif dan interpretatif. Ilmuwan sosial objektif membedakan antara pengetahuan dan yang diketahui, menekankan objektivitas bebas dari bias ideologis. Sebaliknya, kaum humanis dan interpretatif menilai kebebasan memilih sebagai ciri khas manusia dan mengutamakan penelitian yang memperluas pilihan individu.
Glenn, seorang ilmuwan perilaku, berusaha mempertahankan objektivitasnya dengan tidak membiarkan keyakinan pribadinya memengaruhi penelitian. Ia mengutamakan validitas empiris dan mengecam manipulasi data demi mendukung hipotesis tertentu. Pendekatannya sejalan dengan pemikiran George Homans, yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus membiarkan fakta berbicara sendiri.
Sementara itu, Marty secara terbuka mengakui dan memasukkan ideologinya dalam analisis komunikasi. Ia melihat peran komunikasi tidak hanya sebagai alat informasi, tetapi juga sebagai sarana refleksi sosial. Para penerjemah kritis lebih jauh lagi, mereka percaya bahwa penelitian harus memiliki relevansi sosial dan bertujuan membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Mereka menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral dan menekankan bahwa setiap penelitian memiliki implikasi terhadap struktur kekuasaan.
Dalam memahami teori komunikasi, Stan Deetz mengidentifikasi dua prioritas utama: efektivitas dan partisipasi. Efektivitas berkaitan dengan penyampaian pesan yang berhasil, termasuk persuasi, sedangkan partisipasi memastikan berbagai sudut pandang dapat memengaruhi keputusan secara kolektif. Biasanya, teori objektif lebih menitikberatkan efektivitas, sementara teori interpretatif lebih memprioritaskan partisipasi. Perbedaan ini mencerminkan orientasi nilai yang mendasari setiap pendekatan dalam kajian komunikasi.
Tujuan Teori: Hukum Universal Atau Panduan Interpretif
Glenn dan Marty memiliki pandangan yang serupa mengenai sifat pengetahuan, batas otonomi manusia, dan tujuan akhir ilmu pengetahuan, namun pendekatan dan bahasa yang mereka gunakan berbeda. Glenn, sebagai ilmuwan perilaku objektif, berusaha menemukan hukum universal yang berlaku dalam berbagai situasi, sementara Marty, sebagai kritikus retorika, menafsirkan komunikasi dalam konteks tertentu. Jika dianalogikan dengan dunia fashion, Glenn merancang mantel serbaguna dengan ukuran standar, sedangkan Marty menciptakan mantel unik yang disesuaikan untuk satu individu.
Sebagai ilmuwan empiris, Glenn mengembangkan teori dan menguji hipotesisnya untuk mengidentifikasi pola perilaku universal. Ia tidak dapat membuktikan teori secara mutlak, tetapi menilai keberhasilannya berdasarkan pengujian berulang. Sementara itu, Marty sebagai sarjana interpretatif mengeksplorasi makna eksistensi manusia tanpa berusaha membuktikan teori, melainkan menggunakan teori retorika sebagai alat untuk menafsirkan teks audio dan visual dalam kehidupan sosial.
Menurut Robert Ivie, kritikus retorika sebaiknya menggunakan teori sebagai panduan dalam menganalisis realitas sosial. Teori ini membantu mengarahkan perhatian pada aspek-aspek penting dalam praktik sosial, memberi makna pada teks, serta menentukan relevansi dan signifikansinya dalam kajian komunikasi.
Objektif atau Interpretif: Mengapa Penting
Memahami perbedaan antara pendekatan kajian objektif dan interpretatif sangat penting karena setiap teori memiliki asumsi dasar tentang kebenaran, sifat manusia, tujuan, dan nilai-nilainya yang mendasari cara teori tersebut dibangun dan dipahami. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang asumsi ini, konsep-konsep dalam teori komunikasi bisa menjadi membingungkan dan sulit dicerna. Pemahaman yang lebih dalam akan membantu kita memahami berbagai teori komunikasi dengan lebih jelas. Mengklasifikasikan teori-teori komunikasi ke dalam kategori ilmiah (objektif) dan interpretatif mempermudah proses pemahaman dan analisis, memungkinkan kita untuk membandingkan dan mengontraskan teori-teori tersebut secara lebih efektif, serta menunjukkan penguasaan yang lebih baik daripada sekadar menghafal. Selain itu, pemahaman tentang pendekatan-pendekatan ini juga penting dalam memilih jalur akademik atau penelitian di bidang komunikasi, karena beberapa fokus studi, seperti pengembangan hubungan, pengaruh media, dan efek komunikasi, cenderung menggunakan pendekatan objektif, sementara bidang seperti retorika publik, komunikasi organisasi, dan studi budaya lebih banyak menggunakan pendekatan interpretatif.
Sebelum memilih rute yang diinginkan, penting untuk memastikan bahwa kecenderungan tersebut sesuai dengan jalur studi yang diambil. Pada akhirnya, kedua pendekatan ini memiliki tujuan yang serupa, yaitu untuk meningkatkan hubungan dan masyarakat. Para ilmuwan yang mengadopsi pendekatan objektif percaya bahwa pemahaman tentang cara komunikasi bekerja akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang realitas sosial, sementara para penganut pendekatan interpretatif berfokus pada menggali motivasi, ideologi, dan dinamika komunikasi untuk memperbaiki masyarakat, meningkatkan kebebasan, dan mengurangi praktik yang tidak adil. Sebagai contoh, teori komunikasi yang menggunakan pendekatan objektif seperti Teori Pelanggaran Harapan (interpersonal) sangat berfokus pada analisis kuantitatif dan prediksi perilaku, sedangkan teori dengan pendekatan interpretatif, seperti Teori Dialektika Relasional, lebih menekankan pada pemahaman tentang makna, konteks, dan dinamika sosial yang mendalam. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan perbedaan dalam pendekatan terhadap cara mengetahui, sifat manusia, nilai, dan tujuan teori-teori komunikasi ini.
Sumber:
Griffin E. A. Ledbetter A. & Sparks G. G. (2019). A first look at communication theory (Tenth). McGraw-Hill Education.
Griffin E. A. Ledbetter A. & Sparks G. G. (2019). A first look at communication theory (Tenth). McGraw-Hill Education.